Pararaton mengabadikan namanya sebagai raja yang terguling takdir. Akan tetapi, apakah Kertajaya sekadar simbol kejatuhan atau terdapat sisi lain yang belum terungkap? Layaknya Arok melihat singkapan rahasia marcapada pada Dedes di taman Boboji, ketika mengawal kemesraan sang akuwu yang mengaku raja “Tunggul Ametung”.
Kertajaya
Kertajaya merupakan pewaris kerajaan Kadiri pengganti Ratu Srengga. Kadiri adalah kerajaan pecahan hasil dari pralaya kala Airlangga putra Udayana tengah berpesta meminang anak Dharmawangsa di Kahuripan. Akibat pralaya itu, Sri Dharmawangsa melebur kembali bersama alam hingga diangkatlah Airlangga sebagai raja baru Kahuripan atas persetujuan para pandhita. Airlangga berhasil membawa Kahuripan ke masa keemasan. Namun, sang putri mahkota Sri Sanggramawijaya enggan menjadi penerusnya dan lebih memilih hidup bertapa. Kahuripan pun dibagi rata oleh Mpu Barada untuk putra dari selir-selirnya (Airlangga), Lembu Amilanur menjadi raja Jenggala dan Lembu Amisena bertakhta di Panjalu.
Seperti harimau yang tak ingin sejenisnya mengaum di wilayahnya, wangsa Isyana saling menghancurkan dan berujung perpecahan. Saling serang antara Panjalu yang beribukota Kadiri dengan Jenggala berlangsung lama hingga terlelapnya Jenggala dalam tidur panjang yang entah kapan terbangun bak mati suri. Kadiri kokoh berdiri dengan pergantian kekuasaan silih berganti sampai pada saatnya Sri Kertajaya si Dhandhang Gendhis menduduki singgasana.
Sri Kertajaya dalam pandangan
rakyat Tumapel atau rakyat Jenggala pada umumnya, yang oleh leluhurnya berhasil
ditaklukan adalah raja yang mereka ingkari. Dibalik kebisuan dan ketundukan
serta murka hati yang tersembunyi terpagar rasa takut, dalam hati mereka ada
sumpah serapah kutukan yang lantang terucap dalam benak hati sambil menggarap
lahan yang bahkan hasil panen pun dijadikan upeti sebagai tanda tunduk patuh
pada Kadiri.
(Tentu saja rakyat Jenggala
mengingkari sang raja, menjadi oposisi memang selalu menyebalkan bagaimana pun
adanya.)
Bahkan para brahmana yang
selayaknya dihormati seluruh khalayak dicampakan sang raja, mereka ikut tunduk
terdiam mengunci mulut rapat-rapat hingga bertemu sesama untuk beradu caci
mengukir sumpah serapah penuh amarah. Para brahmana seperti kebanyakan rakyat
Kadiri lainnya masih ingin menghirup udara marcapada lebih lama.
Tumapel
Tumapel merupakan salah satu
wilayah di Jenggala, karena wilayah ini adalah sisa-sisa kerajaan tentu saja
akan banyak pergolakan yang membuat Sri Kertajaya sang raja Kadiri pusing bukan
kepalang, hingga diutuslah seorang pemuda kepercayaan yang gagah berani
menghadapi pergolakan tersebut, sebut saja namanya Arya Pulung yang kelak akan
diangkat oleh Sri Kertajaya sebagai akuwu Tumapel bergelar Tunggul Ametung. “Akuwu”
jika diibaratkan saat ini mungkin setingkat kepala desa, memang jabatan yang
bisa dibilang rendah dalam pemerintahan. Namun, Tumapel yang merupakan pusat
pemerintahan Jenggala dahulu kala tentu bukan wilayah sembarangan, baginya
menjadi akuwu Tumapel tak lain hanya sebagai topeng menutupi keinginannya
meruntuhkan Kadiri pada saatnya nanti.
Penunjukkan Arya Pulung
menjadi akuwu Tumapel selain untuk meredakan gejolak pemberontak, namun juga
memisahkan tatapan matanya dari permaisuri sang raja yang dapat
menghancurkannya perlahan atau bahkan dengan tombak tertancap di dada
(Kertajaya). Desas-desus pengkhianatan Tunggul Ametung pun mulai tercium oleh
Kertajaya.
Ken Dedes
Anak tunggal Mpu Purwa,
seorang Brahmana Buddha yang tersohor di penjuru negeri memiliki keistimewaan
tak terhingga. Dari cerita yang terdengar, siapapun yang dapat meminang Dedes
akan menjadi maharaja. Tunggul Ametung sang akuwu pun tertarik padanya, dengan
berbagai cara ia berusaha meminang anak Mpu Purwa. Tunggul Ametung telah
menjelma seolah Kertajaya kecil penuh keangkuhan menerobos dinding pembatas
tempat Dedes tinggal yang seharusnya tak boleh ada laskar perang di dalamnya.
Ia menculik anak Mpu Purwa itu tanpa sepengetahuan untuk diperistrinya.
Ken Arok
Ken Arok dengan kisah masa kecil
yang penuh huru-hara, ia diletakkan seorang diri oleh sang ibu di sebuah
kuburan hingga ditemukan oleh seorang yang hendak mencuri untuk kepentingan
orang banyak dari si kaya “katanya” (dikiaskan bagai Robin Hood lokal). Arok
ditemukan dengan pancaran cahaya keluar dari mulutnya yang membuat si pencuri
tersentak heran terpikir apakah ini jawaban dewata akan keinginan sang istri
dikaruniai seorang anak? Segeralah ia membawa pulang tanpa pikir panjang dengan
tetap menyisakan rasa gusar dan penasaran. Ken Arok tumbuh menjadi anak yang
cerdas, tangguh, dan gemar berkelahi, dikabarkan pula ia sempat kecanduan
berjudi karena Tumapel oleh sang akuwu dijadikan lahan memetik cuan dari pajak
hal-hal haram di luar norma budi.
Dalam perjalanannya Arok
menjelma menjadi pimpinan laskar pemberontak terhadap akuwu Tumapel, Tunggul
Ametung. Hingga saatnya Arok terpaksa mengabdi terhadap sang akuwu yang ia
benci perangainya atas perintah yang suci brahmana. Seorang ksatria seperti
dirinya, rasanya tak akan lama tunduk patuh pada Tunggul Ametung, walau di lain
sisi Arok adalah orang kepercayaan sang akuwu berkat keberanian dan
kecerdasannya.
Teringat Arok akan ucapan
brahmana “siapa lelaki yang memiliki Ken Dedes kelak akan menjadi raja”. Ucapan
itu makin membakar jiwanya, bukan hanya meruntuhkan Tumapel namun juga
mendapatkan cinta Ken Dedes sekaligus merajut jalan menuju singgasana yang
lebih besar, Kadiri. Hari demi hari disusunnya rencana sembari mendekati
orang-orang yang tak puas dan diam-diam membenci Tunggul Ametung. Dengan keris
Mpu Gandring yang direbut paksa sehingga sumpah serapah sang Mpu menggema
“keris ini akan membunuh tujuh raja” ia siasatkan untuk menusuk akuwu. Arok
berikan kerisnya pada tangan kanan Tunggul Ametung, Kebo Ijo. Kebo Ijo dengan
penuh bangga memamerkan keris ke seisi istana, kemudian dengan cerdiknya Arok
mengambil kembali keris tersebut ketika Kebo Ijo dimabuk arak, ia tusukkan
ketika sang akuwu tertidur pulas. Meski Ken Dedes menyaksikannya, ia lebih
memilih diam karena dalam lubuk hatinya itulah yang diinginkan. Kebo Ijo yang
kemarin terlihat memamerkan keris itu didakwa melakukan kejahatan.
(Dalam versi lain, Kebo
Ijo-lah yang membunuh Mpu Gandring untuk kemudian ia tusukkan keris buatan Mpu
Gandring itu saat Tunggul Ametung tidur pulas selekas mabuk arak.)
Singkatnya Ken Arok diangkat
menjadi akuwu Tumapel dengan Ken Dedes sebagai permaisurinya, namun ia menolak
dan memilih menjadi pimpinan prajurit. Saat itu Ken Dedes tengah mengandung
benih cinta dari Tunggul Ametung. Namun, kelak Arok memilih tetap menganggap
anak itu sebagai anaknya sendiri yang bernama Anusapati (sejatinya anak Tunggul
Ametung).
(Versi lain menyebutkan Ken Arok
mendirikan kerajaan Tumapel dengan dukungan para brahmana yang melarikan diri, berselisih
paham dengan Kertajaya di Kediri.)
Perlawanan Terhadap Kadiri
Mendengar Arok berhasil
menguasai tumapel, memuncaklah kemarahan Sri Kertajaya, Kadiri mempersiapkan
penyerbuan besar-besaran dengan panglima perang andalan Mahisa Walungan (adik
Kertajaya) yang sekaligus disiapkan menjadi akuwu Tumapel setelah berhasil
menumpas pasukan Ken Arok. Namun, tak disangka di medan laga, Mahisa Walungan
tewas tertebas. Pasukan Kadiri berhasil dipukul mundur lari pontang-panting.
Bagi Arok, tak ada ampun lagi untuk penindas rakyat Tumapel, Kertajaya
dikejarnya hingga melebur entah kemana.
(Pararaton menyebut Sri
Kertajaya lenyap ke dalam alam dewa tak berbekas, sedangkan Negarakertagama
mengungkapkan Kertajaya bersembunyi ke tempat para dewa. Pada dasarnya mungkin
saja sama yakni ungkapan mangkat dalam bahasa sastra.)
Kemenangan Tumapel atas Kadiri
menjadi akhir wangsa Isyana berkuasa dan dimulainya wangsa Rajasa (Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabhumi – gelar Ken Arok). Angkuhnya Kertajaya si Dhandhang
Gendhis telah sirna, Dhandhang Gendhis merupakan pujian sekaligus sindiran
baginya, ia pandai merangkai strategi hingga nyaris tak terkalahkan namun juga
tamak akan upeti dari rakyatnya.
(Sejarah memang ditulis oleh
pemegang takhta, barangkali pemenangnya wangsa Isyana mungkin saja Kertajaya
akan dipuja-puja layaknya jika pernah membaca buku Mahakurawa – hanya pandangan
liar.)
Sebagai raja, Ken Arok
memberikan segala yang dapat ia beri. Akhir hidupnya tak berada di medan laga
melainkan di ranjang tidurnya. Orang suruhan Anusapati (anak Ken Dedes dari
Tunggul Ametung) telah menusukkan keris Mpu Gandring padanya. Ia mati oleh orang
yang dianggapnya sebagai anak sejak masih dalam kandungan sang istri.
Maka, apakah kutukan Mpu
Gandring benar terbukti? Akan ada 7 raja mati oleh si keris sakti.
(Dalam Negarakertagama Ken
Arok disebut sebagai Sri Ranggah Rajasa, diceritakan mangkat dalam kesan yang
wajar tanpa pembunuhan. Dapat dimaklumi karena naskah Negarakertagama adalah sastra pujian untuk
leluhur Hayam Wuruk pendiri Majapahit, kematian tak wajar leluhurnya mungkin
saja tak perlu diceritakan.)
Kisah ini mengungkap perlawanan rakyat terhadap kemelaratan akhlak penguasa, upeti terus diminta tanpa mempertimbangkan yang jelata. Meski perlawanan tumbuh dari satu titik (Arok), terbukti api kecil ini mampu bumi hanguskan hutan begitu luas. Arok, menjadi percikan yang menyalakan hati rakyat. Pada setiap lorong sempit dan tanah gersang, bisik-bisik perlawanan menjalar seperti akar yang merambat dalam diam.
Apakah kisah ini akan terulang? Pantas disaksikan.
