Dhandhang Gendhis

    Dibalik kemegahan langit Kadiri dimana matahari mulai sayu menepi, dalam istana megahnya duduk seorang raja menatap tajam hamparan kekuasaan. Kertajaya, seorang raja penuh ambisi duduk termangu di kursi emas Kadiri, terpikir bisik-bisik resah rakyat yang mulai lirih terdengar menepi tembok istana.

      Pararaton mengabadikan namanya sebagai raja yang terguling takdir. Akan tetapi, apakah Kertajaya sekadar simbol kejatuhan atau terdapat sisi lain yang belum terungkap? Layaknya Arok melihat singkapan rahasia marcapada pada Dedes di taman Boboji, ketika mengawal kemesraan sang akuwu yang mengaku raja “Tunggul Ametung”.

Kertajaya

    Kertajaya merupakan pewaris kerajaan Kadiri pengganti Ratu Srengga. Kadiri adalah kerajaan pecahan hasil dari pralaya kala Airlangga putra Udayana tengah berpesta meminang anak Dharmawangsa di Kahuripan. Akibat pralaya itu, Sri Dharmawangsa melebur kembali bersama alam hingga diangkatlah Airlangga sebagai raja baru Kahuripan atas persetujuan para pandhita. Airlangga berhasil membawa Kahuripan ke masa keemasan. Namun, sang putri mahkota Sri Sanggramawijaya enggan menjadi penerusnya dan lebih memilih hidup bertapa. Kahuripan pun dibagi rata oleh Mpu Barada untuk putra dari selir-selirnya (Airlangga), Lembu Amilanur menjadi raja Jenggala dan Lembu Amisena bertakhta di Panjalu.

    Seperti harimau yang tak ingin sejenisnya mengaum di wilayahnya, wangsa Isyana saling menghancurkan dan berujung perpecahan. Saling serang antara Panjalu yang beribukota Kadiri dengan Jenggala berlangsung lama hingga terlelapnya Jenggala dalam tidur panjang yang entah kapan terbangun bak mati suri. Kadiri kokoh berdiri dengan pergantian kekuasaan silih berganti sampai pada saatnya Sri Kertajaya si Dhandhang Gendhis menduduki singgasana.

        Sri Kertajaya dalam pandangan rakyat Tumapel atau rakyat Jenggala pada umumnya, yang oleh leluhurnya berhasil ditaklukan adalah raja yang mereka ingkari. Dibalik kebisuan dan ketundukan serta murka hati yang tersembunyi terpagar rasa takut, dalam hati mereka ada sumpah serapah kutukan yang lantang terucap dalam benak hati sambil menggarap lahan yang bahkan hasil panen pun dijadikan upeti sebagai tanda tunduk patuh pada Kadiri.

(Tentu saja rakyat Jenggala mengingkari sang raja, menjadi oposisi memang selalu menyebalkan bagaimana pun adanya.)

    Bahkan para brahmana yang selayaknya dihormati seluruh khalayak dicampakan sang raja, mereka ikut tunduk terdiam mengunci mulut rapat-rapat hingga bertemu sesama untuk beradu caci mengukir sumpah serapah penuh amarah. Para brahmana seperti kebanyakan rakyat Kadiri lainnya masih ingin menghirup udara marcapada lebih lama.

Tumapel

    Tumapel merupakan salah satu wilayah di Jenggala, karena wilayah ini adalah sisa-sisa kerajaan tentu saja akan banyak pergolakan yang membuat Sri Kertajaya sang raja Kadiri pusing bukan kepalang, hingga diutuslah seorang pemuda kepercayaan yang gagah berani menghadapi pergolakan tersebut, sebut saja namanya Arya Pulung yang kelak akan diangkat oleh Sri Kertajaya sebagai akuwu Tumapel bergelar Tunggul Ametung. “Akuwu” jika diibaratkan saat ini mungkin setingkat kepala desa, memang jabatan yang bisa dibilang rendah dalam pemerintahan. Namun, Tumapel yang merupakan pusat pemerintahan Jenggala dahulu kala tentu bukan wilayah sembarangan, baginya menjadi akuwu Tumapel tak lain hanya sebagai topeng menutupi keinginannya meruntuhkan Kadiri pada saatnya nanti.

    Penunjukkan Arya Pulung menjadi akuwu Tumapel selain untuk meredakan gejolak pemberontak, namun juga memisahkan tatapan matanya dari permaisuri sang raja yang dapat menghancurkannya perlahan atau bahkan dengan tombak tertancap di dada (Kertajaya). Desas-desus pengkhianatan Tunggul Ametung pun mulai tercium oleh Kertajaya.

Ken Dedes

    Anak tunggal Mpu Purwa, seorang Brahmana Buddha yang tersohor di penjuru negeri memiliki keistimewaan tak terhingga. Dari cerita yang terdengar, siapapun yang dapat meminang Dedes akan menjadi maharaja. Tunggul Ametung sang akuwu pun tertarik padanya, dengan berbagai cara ia berusaha meminang anak Mpu Purwa. Tunggul Ametung telah menjelma seolah Kertajaya kecil penuh keangkuhan menerobos dinding pembatas tempat Dedes tinggal yang seharusnya tak boleh ada laskar perang di dalamnya. Ia menculik anak Mpu Purwa itu tanpa sepengetahuan untuk diperistrinya.

Ken Arok

    Ken Arok dengan kisah masa kecil yang penuh huru-hara, ia diletakkan seorang diri oleh sang ibu di sebuah kuburan hingga ditemukan oleh seorang yang hendak mencuri untuk kepentingan orang banyak dari si kaya “katanya” (dikiaskan bagai Robin Hood lokal). Arok ditemukan dengan pancaran cahaya keluar dari mulutnya yang membuat si pencuri tersentak heran terpikir apakah ini jawaban dewata akan keinginan sang istri dikaruniai seorang anak? Segeralah ia membawa pulang tanpa pikir panjang dengan tetap menyisakan rasa gusar dan penasaran. Ken Arok tumbuh menjadi anak yang cerdas, tangguh, dan gemar berkelahi, dikabarkan pula ia sempat kecanduan berjudi karena Tumapel oleh sang akuwu dijadikan lahan memetik cuan dari pajak hal-hal haram di luar norma budi.

    Dalam perjalanannya Arok menjelma menjadi pimpinan laskar pemberontak terhadap akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Hingga saatnya Arok terpaksa mengabdi terhadap sang akuwu yang ia benci perangainya atas perintah yang suci brahmana. Seorang ksatria seperti dirinya, rasanya tak akan lama tunduk patuh pada Tunggul Ametung, walau di lain sisi Arok adalah orang kepercayaan sang akuwu berkat keberanian dan kecerdasannya.

    Teringat Arok akan ucapan brahmana “siapa lelaki yang memiliki Ken Dedes kelak akan menjadi raja”. Ucapan itu makin membakar jiwanya, bukan hanya meruntuhkan Tumapel namun juga mendapatkan cinta Ken Dedes sekaligus merajut jalan menuju singgasana yang lebih besar, Kadiri. Hari demi hari disusunnya rencana sembari mendekati orang-orang yang tak puas dan diam-diam membenci Tunggul Ametung. Dengan keris Mpu Gandring yang direbut paksa sehingga sumpah serapah sang Mpu menggema “keris ini akan membunuh tujuh raja” ia siasatkan untuk menusuk akuwu. Arok berikan kerisnya pada tangan kanan Tunggul Ametung, Kebo Ijo. Kebo Ijo dengan penuh bangga memamerkan keris ke seisi istana, kemudian dengan cerdiknya Arok mengambil kembali keris tersebut ketika Kebo Ijo dimabuk arak, ia tusukkan ketika sang akuwu tertidur pulas. Meski Ken Dedes menyaksikannya, ia lebih memilih diam karena dalam lubuk hatinya itulah yang diinginkan. Kebo Ijo yang kemarin terlihat memamerkan keris itu didakwa melakukan kejahatan.

(Dalam versi lain, Kebo Ijo-lah yang membunuh Mpu Gandring untuk kemudian ia tusukkan keris buatan Mpu Gandring itu saat Tunggul Ametung tidur pulas selekas mabuk arak.)

    Singkatnya Ken Arok diangkat menjadi akuwu Tumapel dengan Ken Dedes sebagai permaisurinya, namun ia menolak dan memilih menjadi pimpinan prajurit. Saat itu Ken Dedes tengah mengandung benih cinta dari Tunggul Ametung. Namun, kelak Arok memilih tetap menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri yang bernama Anusapati (sejatinya anak Tunggul Ametung).

(Versi lain menyebutkan Ken Arok mendirikan kerajaan Tumapel dengan dukungan para brahmana yang melarikan diri, berselisih paham dengan Kertajaya di Kediri.)

Perlawanan Terhadap Kadiri

    Mendengar Arok berhasil menguasai tumapel, memuncaklah kemarahan Sri Kertajaya, Kadiri mempersiapkan penyerbuan besar-besaran dengan panglima perang andalan Mahisa Walungan (adik Kertajaya) yang sekaligus disiapkan menjadi akuwu Tumapel setelah berhasil menumpas pasukan Ken Arok. Namun, tak disangka di medan laga, Mahisa Walungan tewas tertebas. Pasukan Kadiri berhasil dipukul mundur lari pontang-panting. Bagi Arok, tak ada ampun lagi untuk penindas rakyat Tumapel, Kertajaya dikejarnya hingga melebur entah kemana.

(Pararaton menyebut Sri Kertajaya lenyap ke dalam alam dewa tak berbekas, sedangkan Negarakertagama mengungkapkan Kertajaya bersembunyi ke tempat para dewa. Pada dasarnya mungkin saja sama yakni ungkapan mangkat dalam bahasa sastra.)

    Kemenangan Tumapel atas Kadiri menjadi akhir wangsa Isyana berkuasa dan dimulainya wangsa Rajasa (Sri Rajasa Batara Sang Amurwabhumi – gelar Ken Arok). Angkuhnya Kertajaya si Dhandhang Gendhis telah sirna, Dhandhang Gendhis merupakan pujian sekaligus sindiran baginya, ia pandai merangkai strategi hingga nyaris tak terkalahkan namun juga tamak akan upeti dari rakyatnya.

(Sejarah memang ditulis oleh pemegang takhta, barangkali pemenangnya wangsa Isyana mungkin saja Kertajaya akan dipuja-puja layaknya jika pernah membaca buku Mahakurawa – hanya pandangan liar.)

    Sebagai raja, Ken Arok memberikan segala yang dapat ia beri. Akhir hidupnya tak berada di medan laga melainkan di ranjang tidurnya. Orang suruhan Anusapati (anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung) telah menusukkan keris Mpu Gandring padanya. Ia mati oleh orang yang dianggapnya sebagai anak sejak masih dalam kandungan sang istri.

    Maka, apakah kutukan Mpu Gandring benar terbukti? Akan ada 7 raja mati oleh si keris sakti.

(Dalam Negarakertagama Ken Arok disebut sebagai Sri Ranggah Rajasa, diceritakan mangkat dalam kesan yang wajar tanpa pembunuhan. Dapat dimaklumi karena naskah Negarakertagama adalah sastra pujian untuk leluhur Hayam Wuruk pendiri Majapahit, kematian tak wajar leluhurnya mungkin saja tak perlu diceritakan.)

Kisah ini mengungkap perlawanan rakyat terhadap kemelaratan akhlak penguasa, upeti terus diminta tanpa mempertimbangkan yang jelata. Meski perlawanan tumbuh dari satu titik (Arok), terbukti api kecil ini mampu bumi hanguskan hutan begitu luas. Arok, menjadi percikan yang menyalakan hati rakyat. Pada setiap lorong sempit dan tanah gersang, bisik-bisik perlawanan menjalar seperti akar yang merambat dalam diam.

Apakah kisah ini akan terulang? Pantas disaksikan.

OldestNewest